
- 2021-08-24 09:41:00
- Artikel
DRAMA HEROIK PASCA PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945
Tujuh belas Agustus 1945 bukanlah akhir perjuangan. Bahkan tampaknya babak baru perjuangan dimulai. Kisah heroik menjelang kemerdekaan sudah banyak diungkap. Akan tetapi perjuangan setelah proklamasi kemerdekaan tampak masih samar-samar.
Inilah sebagian rangkaian drama heroik pasca proklamasi kemerdekaan: Resolusi Jihad Nahdatul Ulama, 22 Oktober 1945 diikuti pertempuran di Surabaya yang melahirkan Hari Pahlawan 10 November. Pertempuran di Bandung merentang dari 29 November dan puncaknya melahirkan aksi bumi hangus Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946.
Perlawanan terhadap Tentara Sekutu dan NICA terjadi dimana-mana: Surabaya, Semarang, Bandung, Karawang, Bekasi, Sukabumi, Medan, Padang, Bukittinggi, dan Aceh. Begitupun pertempuran terjadi di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, dan Maluku. Ini akibat tentara Sekutu dan NICA mengultimatum agar rakyat menyerahkan senjatanya. Rakyat bersama ulama menjawabnya dengan Jihad fii Sabilillah. Perlawanan heroik dari patriot bangsa Indonesia menjadikan imperialis Barat sadar bahwa Proklamator Soekarno-Hatta didukung sepenuhnya oleh segenap rakyat yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan. Pada akhir November 1946 seluruh Tentara Sekutu Inggris, pasukan pemenang Perang Dunia Kedua itu, ditarik dari Indonesia.
Perjalanan perjuangan kemerdekaan Indonesia terus berlanjut di meja perundingan, menghadapi Kerajaan Belanda yang ngotot untuk kembali menguasai dan menjajah Indonesia. Perundingan Linggardjati di Cirebon, Jawa Barat berlangsung pada 10-15 November 1946. Hasil perundingan sungguh mengecewakan, karena Republik Indonesia secara de facto wilayahnya diakui hanya terdiri atas Sumatra, Jawa, dan Madura. Ditolak pula batas wilayah RI dari Sabang-Merauke atau seluruh wilayah bekas jajahan India Belanda. Lebih dari itu Indonesia-Belanda akan membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat pada 1 Januari 1949.
Penandatangan perjanjian ini menimbulkan gejolak politik dan perpecahan. Situasi itu dimanfaatkan Belanda untuk melanggar hasil Perundingan Linggardjati dengan melancarkan Agresi Militer Belanda Pertama, 21 Juli 1947. Hasil penyerangan mereka, wilayah yang diduduki dinyatakan sebagai “daerah garis van Mook”.
Pada Perundingan Renville, Renville Agreement, daerah garis van Mook ini disahkan sehingga wilayah Republik Indonesia semakin berkurang. Tinggal sekitar 8 wilayah, terdiri atas: Jawa Tengah, meliputi wilayah Yogyakarta, Surakarta, Magelang, Purwodadi. Jawa Timur: Madiun, Ponorogo, Kediri. Jawa Barat hanya wilayah Banten saja. Hasil perundingan ini sungguh merendahkan martabat Republik Indonesia.
Kemudian TNI Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah karena Jawa Barat dinyatakan sebagai daerah van Mook kecuali Banten. Telah dibentuk pula Negara Pasundan dengan Wali Negara R.A.A. Wiranatakoesoemah pada 25 April 1948. Akibatnya 35.000 anggota Divisi Siliwangi dipimpin oleh Kolonel Nasoetion dihijrahkan ke Jawa Tengah. Hijrahnya Siliwangi ke Jawa Tengah melalui jalur laut dari Cirebon ke Rembang, Jawa Tengah. Sedangkan melalui jalan darat diangkut dengan kereta api dari Parujakan Cirebon ke Yogyakarta. Demikian pula TNI dari wilayah Jawa Timur, 6.000 pasukan TNI harus dihijrahkan keluar dari wilayah Garis van Mook, masuk ke tiga wilayah Republik Indonesia: Kediri, Madiun, dan Ponorogo.
Dalam situasi kekacauan politik tersebut, PKI kembali melakukan aksi kudetanya. Kali ini di Madiun, Jawa Timur. Diktator Amir Sjarifoeddin-Moeso dari Madiun bermaksud akan merobohkan Republik Indonesia digantikan dengan Negara Soviet Indonesia. Sang Saka Merah Putih digantikan dengan bendera Merah Palu Arit. Kemudian lagu Kebangsaan Indonesia Raya digantikan dengan lagu Internasionale. Ideologi Pancasila digantikan dengan Marxisme Leninisme.
Pada pagi hari 19 September 1948, Ahad Kliwon, para ulama dan santri serta rakyat Madiun terkejut, telah terjadi pergantian pemerintahan di bawah Amir-Moeso. Rakyat menyaksikan banyak truk mondar-mandir bermuatan pasukan FDR (Front Demokrasi Rakyat)/PKI. Di lehernya dibalut kain merah. Mereka tidak lagi membawa bendera Merah Putih melainkan benderea Merah Palu Arit. Oleh rakyat Madiun disebutnya Tentara Merah. Di pinggangnya tersangkut golok lebar, bukan bayonet, dan bersenjatakan senjata laras panjang baru.
Berikutnya terjadi pembunuhan atas para ulama dan santri dari pimpinan partai Islam Indonesia Masjoemi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia GPII, Pelajar Islam Indonesia PII, Partai Nasional Indonesia PNI, Pemoeda Marhaen, Tentara Pelajar Republik Indonesia TRIP, Tentara Genie Pelajar TGP, guru-guru sekolah, aparat pemerintahan. Pembunuhan yang luarbiasa ganasnya dilakukan oleh FDR/PKI di luar kota Madiun.
Empat hari setelah Kudeta, Residen PKI Madiun, Abdul Moettholib mengumpulkan sekitar 6.000 pelajar SMP SMA di pendopo Kabupaten Madiun. Dalam pidatonya, antara lain ia menjanjikan kalau para pelajar setia pada pemerintahan PKI Amir-Moeso maka anak-anak sekolah tidak perlu membayar uang sekolah lagi. Para pelajar menjawab pidato tersebut dengan yel-yel: “Lebih baik bayar, lebih baik bayar, lebih baik bayar” berulang kali, disertai tuntutan “Moeljadi minta ganti, Moeljadi minta ganti, Moeljadi minta ganti..” Akhirnya pertemuan itu kacau hingga dibubarkan.
Moeljadi adalah anggota Tentara Pelajar Republik Indonesia TRIP, yang dibunuh di SMP Negeri 2 Madiun. Pembunuhan itu berdampak bangkitnya solidaritas pelajar Patriot Anti Moeso, PAM. Para pelajar tidak mau menyanyikan lagu Internasionale, dan menolak menghormati Bendera Merah Palu Arit saat upacara di halaman SMP Negeri 2 Madiun yang diadakan sebelum masuk sekolah pagi hari.
Pada suatu pagi rakyat Madiun dikejutkan adanya pesawat terbang AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang terbang rendah menyebarkan pamflet berisi amanah Presiden Soekarno. “Rakyat yang kucinta. Atas nama perjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru kepadamu: Pada saat yang begini genting, dimana engkau dan kita sekalian mengalami percobaan yang sebesar-besarnya di dalam menentukan nasib kita sendiri, dan kita memilih antara dua: Ikut Moeso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka. Atau ikut Soekarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan, akan memimpin negara Republik Indonesia Merdeka, tidak terjajah oleh negara manapun. Madiun harus lekas di tangan kita kembali!”
Panglima Besar Soedirman memerintahkan Siliwangi dan Brigade S untuk merebut kembali Madiun secepatnya. TNI yang hijrah dari Jawa Barat dan Jawa Timur bersatu dengan seluruh kekuatan TNI bersama Laskar Hizboellah dan Barisan Sabilillah dan PNI, mengepung Karesidenan Madiun. Amir-Moesa hanya hanya secara fisik menguasai kota Madiun, akan tetapi tidak mampu merebut hati rakyat Madiun. Tepat 30 September 1948 pukul 16.00, Tentara Siliwangi pimpinan Mayor Sambas berhasil merebut kembali Madiun, Para ulama bersujud syukur terbebas dari pemerintahan diktator Tentara Merah. Amir Sjarifoeddin bersama 11 pimpinan PKI, atas perintah Gubernur Militer Surakarta, Kolonel Gatot Soebroto, dijatuhi hukuman mati di desa Ngalihan, Karanganyar, Surakarta.
Tiga bulan setelah Kudeta PKI di Madiun, Belanda melancarkan Aksi Militer Kedua, 19 Desember 1948. Belanda berhasil menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan beberapa menteri lainnya. Namun mereka tidak mampu menangkap Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Sebelum terjadi penangkapan, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengirimkan Kawat Pertama 19/12/1948 kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara sebagai Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Adapun teks Kawat Pertama berbunyi:
Mandat Presiden Soekarno / Wakil Presiden Hatta kepada Mr. Sjafrudin Pawiranegara.
Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 September 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas ibu kota Jogjakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatra.
Jogjakarta, 19 Desember 1948
Presiden/Soekarno Wakil Presiden/Moh. Hatta
Dibawah kondisi kemungkinan Kawat Pertama belum diterima oleh Mr. Sjafrudin Prawiranegara, maka Wakil Presiden Moh. Hatta dan Menteri Luar Negeri Hadji Agoes Salim mengirimkan Kawat Kedua yang ditujukan kepada Dr. Soedarsono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis di New Delhi. Isinya kurang lebih sama, dengan penekanan: Jika ikhtiar Mr. Sjafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat di Sumatra tidak berhasil, kepada Saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di India.
Dengan serangan Agresi Militer Kedua tersebut, Belanda berhasil menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta serta beberapa menteri untuk kemudian dibuang ke Bangka. Mereka menargetkan berakhirnya Republik Indonesia. Namun hal itu tidak menghentikan perang gerilya TNI. Di bawah perintah Panglima Soedirman, Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade10 Wehkreise III berhasil melancarkan Serangan Umum TNI Enam Jam bersama Laskar Hizboellah, Tentara Peladjar TP, Tentara Genie Peladjar TGP, di Jogjakarta pada 1 Maret 1949.
Dunia Internasional dan imperalis Barat melihat bahwa Republik Indonesia masih mampu berdiri. TNI bersama laskar pejuang lainnya masih mampu melakukan serangan ofensif yang mematahkan moral Serdadu Belanda. Apalagi dengan telah terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatra Barat, serta Exile Government di India yang terus menyuarakan kepentingan Indonesia ke dunia luar. Juga karena perjuangan A.N. Palar, wakil Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa, PBB, menjadikan Dewan Keamanan PBB pada 28 Januari 1949 mengeluarkan resolusi, antara lain berisi:
1. Belanda menghentikan Agresi Militer Belanda Kedua.
2. Republik Indonesia dan Kerajaan Protestan Belanda bersedia berunding dalam Konferensi Meja Bundar.
3. Mengembalikan pemimpin Republik Indonesia dari tempat pembuangan ke Jogjakarta.
Setelah adanya kesepakatan gencatan senjata pada 22 Juni 1949, dimulailah persiapan penarikan Tentara Belanda dari Jogjakarta. Pelaksanaan penarikan diawasi oleh UNCI, United Nations Commision for Indonesia, berlangsung pada 24-29 Juni 1949. Setelah Yogyakarta kosong dari Tentara Belanda, masuklah TNI ke Jogjakarta pada 29 Juni 1949.
Pada 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta kembali ke Jogjakarta. Setibanya di Gedung Kepresidenan Jogjakarta, Presiden memimpin doa syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa. Pada 10 Juli 1949, setelah hampir 7 bulan lamanya bergerilya, Panglima Besar Jenderal Soedirman masuk ke Jogjakarta. Kondisi kesehatan beliau sedang menurun. Beliau dijemput oleh Letnan Kolonel Soeharto. Setelah memeriksa Barisan Kehormatan TNI, diterima oleh Presiden dan Wakil Presiden dengan penuh rasa syukur dan haru. Pada 13 Juli 1949 Mr. Sjafrudin Prawiranegara bersama pimpinan PDRI diterima Presiden dan Wakil Presiden. Pada pertemuan inilah Mr. Sjafrudin menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden yang merangkap sebagai Perdana Menteri.
Betapa agungnya nilai perjuangan para pendiri Republik Indonesia saat itu. Betapa pula bangganya rakyat saat merasakan memiliki kembali pemimpinnya dan negaranya. Suasana haru penuh rasa syukur tiada hingga, rakyat dan para pemimpin Republik Indonesia merasakan Indonesia benar-benar merdeka.
Terakhir, ada hal menarik yang dicatat sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara. Dikisahkan Kiai Tjibadoejoet atau Mama Tjibadoejoet melakukan aksi penyerbuan gudang senjata atau gudang baju seragam Tentara Sekutu di Bandung Utara pada malam hari. Mama Tjibadoejoet dapat menidurkan penjaga gudang senjata Tentara Belanda dan meringankan senjata untuk dibawa keluar dari gudang dan dibagikan kepada Laskar Hisbullah.
Adapun Kiai Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon, beliau diundang Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy’ari karena kelebihan ilmunya, yakni dapat meruntuhkan pesawat terbang Tentara Sekutu hanya dengan mengarahkan tongkatnya ke arah pesawat. Koran Kedaulatan Rakjat memberitakan dari sumber Tentara Sekutu bahwa sejak terjadinya pertempuran Surabaya sampai dengan 17 Desember 1945, Sekutu kehilangan tujuh pesawat Thunderbolt yang tertembak jatuh oleh serangan penangkis udara dari pihak Indonesia. Dijelaskan bahwa pihak Indonesia memiliki kecakapan menembak pesawat sama dengan Jerman. Timbul pertanyaan, darimana pasukan Indonesia memiliki kecakapan menembak pesawat? Apakah pesawat yang terjatuh ini bukan akibat doa Kiai Abbas?
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” (Pembukaan UUD 1945)
Semoga Indonesia senantiasa ada dalam Rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Pemimpinnya diberkahi, rakyatnya sejahtera dalam rasa syukur yang mendalam…
17 Agustus 2021
8 Muharram 1443 H
Edi SA
Pustaka: _Api Sejarah 2,_ Ahmad Mansur Suryanegara. Cetakan II, Agustus 2010. Salamadani Pustaka Semesta